Rabu, 05 Oktober 2016



SOLUSI MENGATASI KESENJANGAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM[1]
Oleh: Saiful Bahri, S. Pd.I., M. SI[2]


            Seakan-akan sudah menjadi sunnatullah (faktor alamiah), bahwa yang namanya fakir-miskin, juga pengangguran, yang notabene mereka yang belum diuntungkan dalam hal ekonomi selalu tetap menempel dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa strata sosial (mungkin) tidak akan lengkap bila golongan tersebut tidak ada. Secara umum, terdapat tiga klaster dalam strata sosial, yaitu golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Mereka yang fakir, miskin, pengangguran, dan pihak lemah lainnya (dhu’afa’) masuk dalam kategori ketiga, golongan bawah.
            Dengan pendapatan atau pemasukan kurang dari 2 Dollar per hari, tidak memungkinkan mereka untuk hidup seperti golongan menengah, apalagi golongan atas. Itu juga dinilai jika ada yang bisa dikerjakan untuk menyambung hidup, bila tidak, sudah tentu hidup mereka semakin terpuruk.
            Mungkinkah fakir-miskin dan pihak yang tidak berpunya bisa hilang dari permukaan bumi ini? Pasalnya, seperti banyak disampaikan bahwa pada masa Dinasti Abbasiah, di waktu tampuk kekhalifahan dipimpin oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, tidak seorang pun yang tergolong dalam mustahiqquz zakah,[3] alias orang susah. Sehinnga harta zakat yang terkumpul diekspor ke daerah lain.
            Jika itu yang terjadi, berarti permasalahan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat—yang sering menjadi topik menarik diperbincangkan oleh para ekonom dan pengamat kehidupan sosial-masyarakat—secara optimistis bisa teratasi. Tinggal lagi bagaimana sistem yang pernah dipraktekkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tersebut bisa terimplementasi secara komprehensif dan terintegral.
            Sebagai pemimpin yang sangat sederhana, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz selalu menjunjung tinggi kepentingan rakyatnya dibanding kepentingan keluarganya, apalagi dirinya sendiri. Sehingga, sebagaimana pernah diceritakan bahwa semenjak terpilih menjadi khalifah, beliau hanya memakai sehelai baju untuk satu hari. Padahal, sebelum menjadi khalifah, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengenakan baju paling tidak dua atau tiga dalam sehari, seperti itu juga yang sering dilakukan orang jamak.
            Pernah juga diceritakan, ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz baru saja terpilih sebagai khalifah, ia menyampaikan kepada istrinya, bahwa semua harta yang berharga yang terdapat di rumahnya akan diserahkan kepada baitul mal, yaitu kas negara. Jika itu tidak disetujui, sebagai konsekuensinya, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz siap berpisah dari istrinya tercinta itu.  Dengan rasa bangga, dan sebagai seorang istri solehah, tentunya ia tetap ingin mendampingi suaminya itu sampai akhir hayat.
            Dengan demikian terjawab sudah, bahwa solusi pertama untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dalam kehidupan masyarakat adalah menjunjung tinggi hak masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Kebijakan seperti ini mesti dilakukan dari pemimpin suatu bangsa atau negara. Karena merekalah yang paling berwenang untuk mengubah segala sistem yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
            Dari cerita singkat Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di atas, juga tersirat solusi kedua dalam mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat, yaitu tentang kesederhanaan pemimpin. Dengan kesederhanaan yang ditampakkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, menjadikan Dinasti Abbasiah ketika itu mencapai titik kemajuannya. Sebaliknya, masyarakat tidak mungkin bisa sejahtera bila pemimpin mereka bergelimang harta, materialis yang pada akhirnya membusungkan dada mengusung jiwa hedonis.
            Tidak mungkin kesejahteraan secara akumulatif menyentuh masyarakat sampai ke akar rumput, jika kekayaan lebih banyak terkonsentrasi di kalangan pimpinan (kaum elite). Seandainya pemimpin pertama bergelimang harta, sudah tentu diikuti pemimpin kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada akhirnya, konsentrasi kekayaan di jajaran pimpinan itu akan mereduksi bagian kesejahteraan dalam hal penguasaan materi (endowment) bagi masyarakat bawah, kemudian yang paling bawah. Skenario ini paling tepat disebut dengan Istilah prototype paradigma kapitalis yang sudah lama menggurita di dunia.
            Dalam hal itu, mungkin kisah kehidupan Ahmadinejad, Presiden Iran yang terkenal dengan kesederhanaannya[4] bisa dipedomani oleh pemimpin-pemimpin lain. Masalahnya, bagaimana jajarannya mau tampil lebih smart, misalnya, jika presidennya saja tampil dan hidup sederhana. Namun, jika sebaliknya yang ditemui dalam kehidupan bawahannya, seperti berpenampilan smart serta hidup mewah dan bergelimang harta, maka perlu dipertanyakan rasa malu yang sejak lahir dianugerahi padanya. Tidakkah bawahan akan merasa malu berpenampilan mewah, jika ‘bos’nya tampil sederhana?
            Solusi ketiga dalam mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat adalah dengan menggalakkan sumber-sumber pendapatan negara dan pendistribusiannya yang adil. Secara sederhana pendapatan negara terbagi dua, pendapatan negara dari pajak (PNDP) dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
            Dalam konteks itu, ada baiknya jika ditelusuri sumber-sumber pendapatan di masa Rasulullah saw.—baik primer maupun sekunder—untuk bisa dijadikan pedoman, yaitu zakat,[5] ushr,[6] zakat fitrah, wakaf, amwal fadhila,[7] nawaib,[8] sedekah, dan khumus atas rikaz.[9]
            Sebagaimana jamak diketahui bahwa tidak ada penyimpangan yang terjadi pada pemerintahan Rasulullah saw. tersebut. Sehingga semua harta yang terkumpul di Baitul Mal sebagai kas negara terdistribusi dengan semestinya.
            Terakhir, sebagai solusi keempat untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat adalah dengan menciptakan lapangan kerja penuh (full employment). Masyarakat, selain diharapkan bisa hidup mandiri—seperti bergelut di bidang entrepreneur—bebas memilih jalan untuk memenuhi kebutuhannya, juga perlu dibimbing atau pilihan tersebut juga disediakan oleh pemerintah. Dalam hal keuangan, sistem seperti ini disebut dengan managed floating. Artinya, masyarakat dibiar bebas memilih pekerjaannya masing-masing, tetapi dalam suatu kondisi, pemerintah perlu turun tangan dalam menawarkan dan memberi peluang kerja.
            Karena tidak semua manusia sama, ada yang kreatif dan tentunya ada juga tidak tahu-menahu mengurus masalah perutnya sendiri. Atau mereka tidak diuntungkan secara struktural atau disebabkan faktor alamiah atau bawaan. Seperti kaum yang termarginal dalam banyak hal, orang berkebutuhan khusus (difabel), sudah tentu masuk dalam kategori itu. Sebagai cerminan, di masa Rasulullah saw. orang tua jompo, orang cacat, dan siapa pun yang tergolong fakir-miskin akan mendapat bantuan dari negara.
            Dalam hal itu, semestinya pemerintah selalu ‘melek’ dalam memberi perhatian agar kesejahteraan mencapai tingkat ekonomi berkapasitas penuh (full capacity economy).







[1] Disampaikan dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat di Pondok Modern Nurul Hidayah Bantan Tua, kec. Bantan, Kab. Bengkalis dengan tema: Literasi Ekonomi Islam Di Madrasah Aliyah/SLTA Sederajat
[2] Dosen STIE Syariah Bengkalis
[3] Orang-orang yang berhak menerima pembagian harta zakat.
[4] Kononnya dia tidak mengambil hasil dari gajinya sebagai presiden, pendapatannya untuk hidup hanya dari gaji mengajar di sebuah perguruan tinggi di negerinya. Dia tetap tinggal di rumah pribadinya, sementara rumah dinas kepresidenan sudah dikonversi menjadi museum. Ketika ia datang ke Indonesia dan Pemerintah Indonesia memfasilitasinya dengan hotel mewah, ia menolak dan lebih memilih penginapan yang begitu sederhana.
[5] Yaitu zakat mal (harta), akan dikeluarkan oleh setiap muslim ketika hartanya sudah mencapai haul (batas satu tahun) dan nishab (batas minimal harta untuk dikeluarkan zakatnya).
[6] Terbagi atas dua bentuk, yaitu zakat pertanian dan bea impor.
[7] Harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau harta mereka yang meninggalkan negerinya.
[8] Pendapatan dari orang kaya muslim untuk darurat negara.
[9] Seperlima dari harta temuan







Tidak ada komentar:

Posting Komentar