SOLUSI MENGATASI
KESENJANGAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM[1]
Oleh: Saiful
Bahri, S. Pd.I., M. SI[2]
Seakan-akan
sudah menjadi sunnatullah (faktor alamiah), bahwa yang namanya
fakir-miskin, juga pengangguran, yang notabene mereka yang belum diuntungkan
dalam hal ekonomi selalu tetap menempel dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa
juga dikatakan bahwa strata sosial (mungkin) tidak akan lengkap bila golongan
tersebut tidak ada. Secara umum, terdapat tiga klaster dalam strata sosial,
yaitu golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Mereka yang fakir,
miskin, pengangguran, dan pihak lemah lainnya (dhu’afa’) masuk dalam
kategori ketiga, golongan bawah.
Dengan
pendapatan atau pemasukan kurang dari 2 Dollar per hari, tidak memungkinkan
mereka untuk hidup seperti golongan menengah, apalagi golongan atas. Itu juga
dinilai jika ada yang bisa dikerjakan untuk menyambung hidup, bila tidak, sudah
tentu hidup mereka semakin terpuruk.
Mungkinkah
fakir-miskin dan pihak yang tidak berpunya bisa hilang dari permukaan bumi ini?
Pasalnya, seperti banyak disampaikan bahwa pada masa Dinasti Abbasiah, di waktu
tampuk kekhalifahan dipimpin oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, tidak
seorang pun yang tergolong dalam mustahiqquz zakah,[3]
alias orang susah. Sehinnga harta zakat yang terkumpul diekspor ke daerah lain.
Jika
itu yang terjadi, berarti permasalahan kesenjangan ekonomi dalam
masyarakat—yang sering menjadi topik menarik diperbincangkan oleh para ekonom
dan pengamat kehidupan sosial-masyarakat—secara optimistis bisa teratasi.
Tinggal lagi bagaimana sistem yang pernah dipraktekkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz tersebut bisa terimplementasi secara komprehensif dan terintegral.
Sebagai
pemimpin yang sangat sederhana, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz selalu menjunjung tinggi
kepentingan rakyatnya dibanding kepentingan keluarganya, apalagi dirinya
sendiri. Sehingga, sebagaimana pernah diceritakan bahwa semenjak terpilih
menjadi khalifah, beliau hanya memakai sehelai baju untuk satu hari. Padahal,
sebelum menjadi khalifah, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengenakan baju paling tidak
dua atau tiga dalam sehari, seperti itu juga yang sering dilakukan orang jamak.
Pernah
juga diceritakan, ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz baru saja terpilih sebagai
khalifah, ia menyampaikan kepada istrinya, bahwa semua harta yang berharga yang
terdapat di rumahnya akan diserahkan kepada baitul mal, yaitu kas negara. Jika
itu tidak disetujui, sebagai konsekuensinya, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz siap
berpisah dari istrinya tercinta itu.
Dengan rasa bangga, dan sebagai seorang istri solehah, tentunya ia tetap
ingin mendampingi suaminya itu sampai akhir hayat.
Dengan
demikian terjawab sudah, bahwa solusi pertama untuk mengatasi kesenjangan
ekonomi dalam kehidupan masyarakat adalah menjunjung tinggi hak masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan. Kebijakan seperti ini mesti dilakukan dari pemimpin
suatu bangsa atau negara. Karena merekalah yang paling berwenang untuk mengubah
segala sistem yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Dari
cerita singkat Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di atas, juga tersirat solusi
kedua dalam mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat, yaitu tentang
kesederhanaan pemimpin. Dengan kesederhanaan yang ditampakkan oleh ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz, menjadikan Dinasti Abbasiah ketika itu mencapai titik
kemajuannya. Sebaliknya, masyarakat tidak mungkin bisa sejahtera bila pemimpin
mereka bergelimang harta, materialis yang pada akhirnya membusungkan dada
mengusung jiwa hedonis.
Tidak
mungkin kesejahteraan secara akumulatif menyentuh masyarakat sampai ke akar
rumput, jika kekayaan lebih banyak terkonsentrasi di kalangan pimpinan (kaum
elite). Seandainya pemimpin pertama bergelimang harta, sudah tentu diikuti
pemimpin kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada akhirnya, konsentrasi kekayaan di
jajaran pimpinan itu akan mereduksi bagian kesejahteraan dalam hal penguasaan
materi (endowment) bagi masyarakat bawah, kemudian yang paling bawah.
Skenario ini paling tepat disebut dengan Istilah prototype paradigma
kapitalis yang sudah lama menggurita di dunia.
Dalam
hal itu, mungkin kisah kehidupan Ahmadinejad, Presiden Iran yang terkenal
dengan kesederhanaannya[4]
bisa dipedomani oleh pemimpin-pemimpin lain. Masalahnya, bagaimana jajarannya
mau tampil lebih smart, misalnya, jika presidennya saja tampil dan hidup
sederhana. Namun, jika sebaliknya yang ditemui dalam kehidupan bawahannya,
seperti berpenampilan smart serta hidup mewah dan bergelimang harta,
maka perlu dipertanyakan rasa malu yang sejak lahir dianugerahi padanya.
Tidakkah bawahan akan merasa malu berpenampilan mewah, jika ‘bos’nya tampil
sederhana?
Solusi
ketiga dalam mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat adalah dengan
menggalakkan sumber-sumber pendapatan negara dan pendistribusiannya yang adil.
Secara sederhana pendapatan negara terbagi dua, pendapatan negara dari pajak
(PNDP) dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Dalam
konteks itu, ada baiknya jika ditelusuri sumber-sumber pendapatan di masa
Rasulullah saw.—baik primer maupun sekunder—untuk bisa dijadikan pedoman, yaitu
zakat,[5] ushr,[6]
zakat fitrah, wakaf, amwal fadhila,[7] nawaib,[8]
sedekah, dan khumus atas rikaz.[9]
Sebagaimana jamak diketahui bahwa
tidak ada penyimpangan yang terjadi pada pemerintahan Rasulullah saw. tersebut.
Sehingga semua harta yang terkumpul di Baitul Mal sebagai kas negara
terdistribusi dengan semestinya.
Terakhir, sebagai solusi keempat
untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat adalah dengan menciptakan
lapangan kerja penuh (full employment). Masyarakat, selain diharapkan
bisa hidup mandiri—seperti bergelut di bidang entrepreneur—bebas memilih
jalan untuk memenuhi kebutuhannya, juga perlu dibimbing atau pilihan tersebut
juga disediakan oleh pemerintah. Dalam hal keuangan, sistem seperti ini disebut
dengan managed floating. Artinya, masyarakat dibiar bebas memilih pekerjaannya
masing-masing, tetapi dalam suatu kondisi, pemerintah perlu turun tangan dalam
menawarkan dan memberi peluang kerja.
Karena tidak semua manusia sama, ada
yang kreatif dan tentunya ada juga tidak tahu-menahu mengurus masalah perutnya
sendiri. Atau mereka tidak diuntungkan secara struktural atau disebabkan faktor
alamiah atau bawaan. Seperti kaum yang termarginal dalam banyak hal, orang
berkebutuhan khusus (difabel), sudah tentu masuk dalam kategori itu. Sebagai
cerminan, di masa Rasulullah saw. orang tua jompo, orang cacat, dan siapa pun
yang tergolong fakir-miskin akan mendapat bantuan dari negara.
Dalam hal itu, semestinya pemerintah selalu ‘melek’ dalam
memberi perhatian agar kesejahteraan mencapai tingkat ekonomi berkapasitas
penuh (full capacity economy).
[1] Disampaikan dalam
kegiatan pengabdian pada masyarakat di Pondok Modern Nurul Hidayah Bantan Tua,
kec. Bantan, Kab. Bengkalis dengan tema: Literasi Ekonomi Islam Di Madrasah Aliyah/SLTA
Sederajat
[2] Dosen STIE Syariah
Bengkalis
[3] Orang-orang yang
berhak menerima pembagian harta zakat.
[4] Kononnya dia tidak
mengambil hasil dari gajinya sebagai presiden, pendapatannya untuk hidup hanya
dari gaji mengajar di sebuah perguruan tinggi di negerinya. Dia tetap tinggal
di rumah pribadinya, sementara rumah dinas kepresidenan sudah dikonversi
menjadi museum. Ketika ia datang ke Indonesia dan Pemerintah Indonesia
memfasilitasinya dengan hotel mewah, ia menolak dan lebih memilih penginapan
yang begitu sederhana.
[5] Yaitu zakat mal
(harta), akan dikeluarkan oleh setiap muslim ketika hartanya sudah mencapai haul
(batas satu tahun) dan nishab (batas minimal harta untuk dikeluarkan
zakatnya).
[7]
Harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau harta mereka yang
meninggalkan negerinya.
[8] Pendapatan dari orang
kaya muslim untuk darurat negara.
[9] Seperlima dari harta
temuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar